Surga seorang anak ada di telapak kaki
ibu. Doa ibu kepada anaknya diibaratkan doa Nabi kepada umatnya. Ucapan,
harapan dan doanya adalah jaminan keterkabulan. Sebaliknya, ketika ibu
tidak ridha, maka kesulitan da kesengsaraan hidup adalah jaminan yang
mustahil meleset.
Ustadz Ahmad al-Habsyi menuturkan pengalamannya di dalam bukunya Mukjizat Orangtua Sempurnakan Suksesmu.
Dalam pembukaan buku itu, beliau menuturkan kisah nyata yang menjadi
bukti akan Kemahakuasaan dan pahala yang akan Allah Swt berikan kepada
siapa saja yang berbakti kepada orangtuanya.
Kisahnya, beliau diundang untuk memberi
ceramah di kantor seorang Menteri. Sebab belum ada undangan di hari
tersebut, Ustadz mengiyakan. Sekitar beberapa hari sebelum ceramah,
Menteri itu amat intens menghubungi Ustadz untuk memastikan, khawatir
jika yang bersangkutan lupa jadwal.
Tak berselang lama selepas itu, tepat
menjelang hari H undngan ceramah, sang Ustadz menelepon ibunya di
kampung halaman, Palembang. Terdengar dari suara telepon, suara ibunya
menunjukkan gejala sakit. Sayangnya, ketika ditanya, sang Ibu mengelak.
Tidak puas, Ustadz al-Habsy pun
menghubungi Kakaknya. Katanya, “Kak, Ibu sakit ya?” Maka didapatilah
informasi bahwa sang Ibu sudah beberapa hari tak enak badan. Ketika
seluruh anaknya membujuk, Ibunya tak menggubris. Pun, ketika anak-anak
yang membujuk sampai merengek dan meneteskan air mata. Jelas sang Kakak,
“Tolong pulang. Hanya kamu yang bisa membujuk Ibu.”
Tanpa pikir panjang, sang Ustadz langsung
membeli tiket untuk mudik ke Pelembang. Sesampainya di sana,
disampaikanlah kepada sang Ibu bahwa dirinya telah membatalkan undangan
ceramah dari seorang Menteri demi membujuk ibunya agar mau berobat.
Mendengar penuturan sang anak, Ibu yang
lembut hatinya pun mengikuti sarannya. Keduanya beranjak ke dokter.
Alhamdulillah, Ibunya sembuh setelah diperiksa.
Sepulangnya dari Palembang, sang Ustadz
menerima laporan tak mengenakkan dari stafnya. Pasalnya, ajudan Menteri
mengancam akan memboikot ceramah Ustadz. Sebagai bentuk konfirmasi,
beliau pun menelepon dan mengisahkan detail peristiwanya.
“Bang,” ungkap sang Ustadz melalui
telepon, “ada dua panggilan yang tak bisa ditunda.” Lanjut beliau, “Yang
pertama adalah panggilan Allah Swt berupa Haji dan Umrah. Yang kedua
adalah panggilan orangtua.”
“Ketika saya tidak menghadiri undangan
Abang, maka di kantor Abang tetap ada ceramah, kan?” tanya sang Ustadz.
Lanjutnya, “Tapi, jika kemarin saya tidak langsung mendatangi Ibu,
kemudian ternyata beliau mati, apakah ada yang bisa menggantikan
kesedihan saya?”
Berselang hari, sang Menteri berkunjung
ke rumah Ustadz al-Habsyi. Ia menyampaikan permintaan maaf atas
kelakuaan ajudannya karena khilaf. Ketika hendak pulang, Menteri itu
menyerahkan amplop kepada sang Ustadz. Dengan mengerutkan dahi, sang
Ustadz bertanya, “Lho? Ini apa-apaan, Bang?” Jawab Menteri, “Memang, kau
tidak hadir untuk berceramah di kantorku. Tapi yang kau sampaikan lewat
telepon, amat menyentuh hati dan perasaanku. Maka terimalah ini sebagai
wujud terimakasihku atas nasehatmu.”
Sepulangnya sang Manteri, dibukalah amplop terebut. Ternyata, isinya Dolar Singapura! [pirman]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar